LAMPUNG TENGAH – Sungai Way Seputih di Lampung Tengah tak ubahnya ladang emas bagi penambang pasir ilegal. Di Desa Rejosari, Kecamatan Seputih Mataram, aktivitas perusakan lingkungan ini berjalan tanpa hambatan. Alat berat menggali, pipa menyedot, dan truk pengangkut hilir mudik—semua terang-terangan dilakukan, seolah hukum dan regulasi hanya sekadar pajangan.
Ironisnya, aparat penegak hukum dan dinas terkait seperti ESDM maupun Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Lampung memilih bungkam seribu bahasa. Bukan tidak tahu, tapi seolah sudah biasa. Kalaupun dulu sempat ribut, kini mereka seakan tuli dan buta.
“Sudah bertahun-tahun aktivitas ini terjadi. Ditutup satu, muncul sepuluh. Sekarang justru makin brutal,” ujar Medi Mulia, Ketua BPAN Lampung, kepada team Media, Jumat, 27 Juni 2025.
Medi mengungkapkan bahwa para pelaku tambang pasir ilegal di sepanjang aliran sungai Way Seputih sudah terang-terangan beroperasi tanpa izin resmi. “Mereka hanya mengandalkan izin koordinasi dengan oknum. Negara kalah dengan koordinator lapangan!” cetus Medi.
Ia menyebut, dari Padang Ratu hingga Jembatan Kembar, lubang-lubang bekas galian menganga seperti luka terbuka di tubuh alam. Sungai yang dulunya jernih, kini keruh dan penuh sisa kerusakan.
“Yang kerja bukan satu dua alat berat, tapi puluhan. Apa susahnya bagi aparat melihat? Atau memang sengaja tak mau lihat?” lanjutnya dengan nada getir.
Medi bahkan menyebut nama-nama pelaku yang selama ini bebas merusak lingkungan:
1. Jarwo
2. Anton
3. Giono
4. Budi
“Ini bukan rahasia, semua orang tahu siapa mereka. Tapi anehnya, tidak pernah ada proses hukum. Sungai rusak, ekosistem hancur, warga menderita, tapi para pelaku tetap panen untung,” sambung Medi.
Selain menghancurkan dasar sungai dan merusak ekosistem, tambang pasir liar ini juga berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi warga. Nelayan sungai tak lagi bisa mencari ikan. Sumber air bersih terancam. Tapi, lagi-lagi, semua pihak seperti tak merasa bersalah.
“Kami minta DLH dan ESDM segel lokasi itu. Kalau perlu, cabut semua alat beratnya. Jangan tunggu banjir bandang baru sibuk saling lempar tanggung jawab,” desak Medi.
Namun sayangnya, di negeri ini, sering kali kerusakan alam justru jadi panggung keheningan para pejabat. Bukan karena tak tahu, tapi karena terlalu sibuk menghitung setoran.
Sungai Way Seputih menangis, tapi yang terdengar hanya deru ekskavator. Alam merintih, tapi para pemangku kebijakan justru menutup telinga dengan nyaman di balik meja.
Sampai kapan negara pura-pura tidak tahu?
(Rls/team)