Berapa Kerugian Negara Dalam Kasus Pengelolaan PI 10% Oleh PT. LEB

Lampung, Setelah satu tahun melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi Pengelolaan PI 10% oleh PT LEB, dengan memanggil 60-an saksi dari mantan Gubernur Lampung hingga Penjual Siomay, Kejaksaan Lampung menetapkan Tiga Tersangka yang terdiri dari Direksi dan Komisaris PT. LEB. Berapa Kerugian Negara (KN) nya ? Tidak disebutkan jumlahnya oleh Kejaksaan. Armen, Asisten Pidana Khusus hanya menyebut ada KN tapi tidak menyebutkan berapa-nya. 

Tidak seperti biasanya memang. Karena hampir disemua kasus Tipikor, besar KN telah ada dan dihitung secara teliti oleh BPK atau BPKP. Karena kepastian KN ini menjadi dasar penetapan tersaksa Tipikor.

Hingga satu tahun penyidikan pun ternyata Kejaksaan masih belum mampu menghitung dengan pasti berapa KN nya. Yang lama ditunggu dari Kejaksaan hingga saat ini pun masih tidak kunjung muncul. Meski pada akhirnya ada tersangka, tapi KN masih belum ada. 

Seberapa sulit menghitung KN pada dugaan Tipikor PT. LEB ?

Jika merujuk pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KN muncul dalam Pasal 2 dan 3 yang cukup dikenal yang intinya bahwa: “Setiap orang yang secara melawan hukum / menggunakan jabatan / kewenangannya melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana…” 

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa KN adalah kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang, yang nyata dan pasti jumlahnya, akibat perbuatan melawan hukum, baik disengaja maupun kelalaian. 

Dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 1 disebutkan bahwa, “Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan negara/daerah yang dipisahkan” 

Secara khusus terkait dengan BUMN dan BUMD, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 48/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa kerugian pada BUMN/BUMD tetap dapat dikategorikan sebagai KN, jika: Pertama, Terdapat penyertaan modal negara/daerah. Kedua, kerugiannya akibat tindakan melawan hukum, dan ketiga Negara/daerah tidak menerima manfaat ekonomi yang seharusnya. 

Sedangkan secara khusus untuk BUMD, termaktub dalam Pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD, yang menyatakan bahwa Pendapatan Daerah adalah Dividen bagian pemerintah dari BUMD. 

Dengan pemahaman terkait KN diatas, apakah memang sulit menghitung KN oleh Direksi dan Komisaris LEB sehingga sudah memakan waktu satu tahun pun masih belum jelas ? 

Dari berbagai sumber diperoleh info bahwa cerita ini bermula dari "aduan masyarakat yang menjadi atensi" dengan tuduhan PT. LEB menahan uang dividen hak PT. LJU yang nantinya diharapkan menjadi PAD bagi Pemprov Lampung, karena sudah beberapa kali PT. LEB ditagih DPRD. Namun saat dipanggil Kejaksaan sekira Juli 2024, dividen dimaksud sudah disetor penuh oleh PT. LEB ke PT. LJU. 

Bukannya selesai, ternyata malah Kejaksaan mengeluarkan surat perintah Penyelidikan 1 Oktober dan langsung meningkat menjadi Penyidikan tanggal 14 Oktober 2024.

Saat penyidikan, telah beberapa kali Kejaksaan meminta BPKP untuk menyatakan KN dalam penggunaan pendapatan PI dengan alasan tidak mendapatkan persetujuan pemegang saham. Namun hal ini tidak bisa dipaksakan menurut BPKP karena memang merupakan pendapatan perusahaan sesuai dengan UU PT dan standar PSAK. Sehingga anggapan Kejaksaan bahwa Pendapatan PI harus diperlakukan seperti Dana Bagi Hasil Migas yang harus masuk dulu ke Pemda terbantahkan.

Begitu pula anggapan Kejaksaan bahwa pendapatan PI adalah modal kerja yang diberikan oleh PHE OSES yang hanya bisa digunakan untuk modal usaha, sedangkan PT LEB belum ada pengembangan usaha. Sehingga menurut Kejaksaan, pendapatan PI tidak boleh digunakan untuk operasional serta labanya tidak bisa dibagikan sebagai dividen. Untuk itu, bahkan Kejaksaan "menyita" dana di PT. LJU yang merupakan sisa dividen dari PT. LEB sebesar Rp. 59 Milyar. Konsep inipun dibantah oleh BPKP, karena memang Pengelolaan PI 10% adalah bentuk usaha di sektor Migas. Bahkan menjadi satu-satunya usaha yang boleh dilakukan oleh PT LEB selaku Kontraktar Kontrak Kerjasama (K3S), sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Usaha Hulu Migas 35/2004 dan PERMEN ESDM 37/2016. Lagi-lagi Kejaksaan "diusir" dari BPKP dan pulang dengan tangan hampa. 

Selanjutnya pada 9 Des 2024, Aspidsus Kejaksaan Lampung pernah melakukan konferensi pers yang menyatakan bahwa telah menyita uang dollar milik PT. LEB sebesar $1,4jt. Menurut Armen, PT. LEB ditengarai tidak melaporkan sisa uang dollar tersebut dalam Laporan Keuangan. Sehingga kemungkinan nantinya akan digelapkan. 

Kejaksaan membawa konsep ini ke BPKP dan meminta dianggap sebagai KN, namun lagi-lagi ditolak oleh BPKP karena sebenarnya sudah jelas ada di Laporan Keuangan Audited dan dijelaskan pada Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) bahwa uang $1,4jt itu ada dan dikonversi menjadi rupiah sesuai dengan kurs akhir tahun. Cerita yang kadung disampaikan dengan gegap gempita ini pun akhirnya redup dan menghilang. 

Hal ini menjadi pertanyaan publik, apakah memang Aspidsus benar-benar kurang jeli membaca Laporan Keuangan atau sengaja sebagai alasan "menyita" uang milik PT. LEB agar nilai sitaan semakin besar dan menambah "prestasi" Aspidsus Kejaksaan. Padahal uang itu seharusnya digunakan untuk operasional PT. LEB. 

Lama menanti perkembangan kasus, sekitar Juni 2025 publik menerima kabar dari Kejaksaan bahwa saat itu mereka telah menyerahkan berkas-berkas ke BPKP untuk diminta menghitung potensi KN kembali. Kali ini, tanpa cerita khusus. Jadi semua data hasil pemeriksaan diminta untuk dianalisa kalau-kalau ada KN. Hal ini pastinya menyulitkan BPKP, karena beda dengan penghitungan KN yang biasanya sudah ada kasusnya. Sedangkan PT LEB tidak, hanya segepok berkas dan diminta BPKP mencari sendiri. Sekitar dua bulan, BPKP akhirnya mengeluarkan hasil investigasinya. Tapi apa hasilnya, hanya Kejaksaan yang tau.

Lantas, darimana beredar info bahwa potensi KN dari kasus LEB ini mencapai 200 M ?

Jika Kejaksaan melihat bahwa PT. LEB sama sekali tidak berhak mendapatkan PI 10% dan karenanya semua pendapatan PT. LEB sebanyak Rp. 271 Milyar itu semuanya sebagai uang haram, maka Kejaksaan harus berhadapan dengan SKK Migas dan Menteri ESDM yang memberikan persetujuan PI 10% ke LEB. Persetujuan Menteri ini telah melalui proses panjang sehingga Menteri benar-benar yakin semua kewajiban dan proses telah sesuai dengan PERMEN ESDM 37/2016.

Proses yang sama telah dilalui oleh 10 daerah lain yang juga mengelola PI 10% WK Migas. Jika proses yang sama telah dilakukan daerah lain, mengapa hanya LEB yang dianggap pendapatannya haram ?

Namun jika yang dimaksud adalah penggunaan dana 271 M itu, maka dapat ditelusuri dari beberapa hal. Sesuai dengan hasil RUPS LEB Tahun Buku 2022 yang dikutip media dari Akte Notaris disebutkan bahwa telah ditetapkan dividen untuk Pemegang Saham (yaitu PT. LJU sebagai BUMD Provinsi dan PDAM WAY GURUH sebagai BUMD Lamtim) sebesar 214,8 M dan semuanya telah disetor. Artinya, jika total pendapatan 271 M dikurang dividen, sekitar 56 M yang tersisa. 

Dari jumlah ini pun telah diamankan oleh Kejaksaan sejak Des 2024 sebesar 23 M ($1,4jt). Sehingga yang tersisa 33 M. 

Lebih dalam, sesuai Laporan Keuangan 2022 diketahui bahwa biaya operasional (kantor, gaji, dll) untuk mendapatkan hak pengelolaan PI selama empat tahun sejak 2019-2022 sebesar 18 M. Perencanaan dan penggunaan dana ini semuanya telah disetujui oleh Pemegang Saham dengan terlebih dahulu diaudit oleh Kantor Akuntan Publik setiap tahunnya.

Sehingga, sisa 15M yang ada menjadi cadangan dan biaya operasional tahun 2023 hingga tahun 2025 ini. 

Jika semua pengeluaran tersebut telah dikelola dengan baik, tanpa ada penyimpangan dan pelanggaran dan semua catatan keuangan sesuai dengan Laporan Keuangan Audited. Apalagi PT. LEB selama ini di audit pula oleh BPKP, BPK dan Kantor Pajak, maka sebenarnya dimana letak KN nya ? Bukankah KN itu syaratnya terdapat perbuatan melawan hukum ? (Rls/Tim)

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama
SPONSOR